Perkembangan dan pertumbuhan startup di Indonesia memang cukup pesat. Namun, sebagian besar startup di Indonesia masih terpusat di Jakarta. Sementara di luar Jakarta, ada berbagai permasalahan dan tantangan yang mesti dihadapi.
Seperti diketahui, perusahaan startup Indonesia mayoritas berasal dan bermarkas di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Berdasarkan data Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) pada 2019 mengungkapkan, 52,7% startup berbasis di Jabodetabek. Selain itu, terdapat 168 startup berada di Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Meskipun begitu, kesenjangan ini semakin mengecil yang memberi sinyal bahwa wilayah lain mampu mengejar ketertinggalan di aspek tersebut. Berdasarkan Digital Competitiveness Index oleh East Ventures 2020, meroketnya aspek ketenagakerjaan di sektor digital Provinsi Riau meningkat tajam. Bahkan, Riau berada di posisi tiga setelah DKI Jakarta dan Banten.
Akan tetapi, ekosistem digital di Riau masih sangat minim jika dibandingkan dengan Jakarta. Contohnya seperti inkubator yang masih sangat sedikit dan event startup yang jarang diselenggarakan. Padahal, ini bisa menjadi ajang untuk menambah relasi bisnis.
Contoh lainnya adalah Bali. Infrastruktur digital di Pulau Dewata berkembang dengan pesat dan sekarang ada di urutan kedua setelah DKI Jakarta dalam tingkat nasional. Kemudian, ekosistem digital di Daerah Istimewa Yogyakarta juga sangat baik lantaran memang banyak universitas dan pasar yang besar untuk pariwisata. Dengan begitu, sumber pendanaan biasanya akan terbuka lebar karena memiliki pasar dan peluang yang besar.
Masalah-masalah yang Dihadapi Startup di Luar Jakarta untuk Berkembang
Ada sejumlah alasan kenapa startup Indonesia hanya terpusat di Jabodetabek. Pasalnya, perusahaan-perusahaan rintisan di luar area tersebut memiliki banyak permasalahan antara lain talenta digital, ekosistem pendukung, dan akses pendanaan.
Faktor terbesar yang menjadi penghambat kurang berkembangnya startup di luar wilayah Jabodetabek adalah minimnya ketersediaan talenta digital. Pasalnya, Sumber Daya Manusia (SDM) memiliki peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan perusahaan startup.
Selain itu, mayoritas penyuntik dana atau investor juga kurang melirik perusahaan-perusahaan startup yang menggeluti bisnis di luar Jabodetabek. Ini cukup beralasan karena daya saing DKI Jakarta adalah yang terbaik menurut riset East Ventures pada 2020 yang bertajuk Digital Competitiveness Index (EV-DCI). Ibu kota memiliki skor 79,7, unggul jauh dari peringkat kedua yakni Jawa Barat dengan skot 54,9. Kemudian masing-masing diikuti oleh Jawa Timur, Bali, dan Banten.
Berdasarkan data Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) pada 2018, cuma terjadi 71 pendanaan besar untuk perusahaan startup, dan anjlok hingga 52 transaksi pendanaan di 2020. Mayoritas pendanaan terjadi untuk perusahaan-perusahaan startup di Pulau Jawa, baik yang beroperasi maupun letak kantornya.
Penyuntik dana masih kurang berani untuk bereksplorasi ke wilayah luar Jabodetabek atau sektor-sektor lain. Padahal, terdapat banyak perusahaan-perusahaan startup dari wilayah timur Indonesia yang menarik untuk disuntikkan dana, seperti yang bergerak di sektor ekonomi kreatif, logistik, dan sistem pembayaran.
Di lain sisi, literasi digital menjadi tantangan terbesar bagi perusahaan startup yang ingin berkembang di wilayah Indonesia timur. Apabila masyarakat tidak memiliki edukasi mengenai manfaat teknologi digital, solusi yang ditawarkan oleh perusahaan startup tetap akan sulit diterima. Daya konsumsi masyarakat di timur yang lebih konsumtif juga menjadi salah satu faktor kenapa startup sulit berkembang. Pasalnya, perusahaan startup hadir untuk memberikan solusi yang efisien menggunakan platform digital.