Proof of Concept, MVP dan Prototype: Mana yang Dipilih?

proof of concept

Anda bisa saja membuat produk yang canggih. Tapi jika tidak ada yang menggunakannya, semua usaha yang dilakukan tentu akan terasa sia-sia. Agar produk yang dibuat dapat diterima oleh pengguna, Anda membutuhkan strategi yang tepat. Namun antara proof of concept (POC), Minimum Viable Products (MVP) dan prototype, strategi mana yang sebaiknya dipilih?

Apa Itu Proof of Concept, MVP dan Prototype

Jika dilihat sepintas, proof of concept (POC), MVP dan prototype memang terlihat mirip. Ketiganya hadir dalam bentuk produk setengah jadi dengan fokus pada fitur yang paling fundamental. Namun meski terlihat mirip, proof of concept (POC), MVP dan prototype memiliki konsep dasar yang berbeda.

●      Proof of Concept (POC)

Konsep dasar dan tujuan utama POC (proof of concept) sebenarnya dapat dilihat dari namanya. POC dibuat untuk memvalidasi kelayakan dari sebuah ide atau sebuah konsep sebelum proses pengembangan sebuah produk atau aplikasi benar-benar dimulai. Itulah kenapa POC hanya ditunjukkan pada kalangan internal saja. Jika ide tersebut dipandang dapat diterapkan, proses pengembangan produk baru akan dimulai.

●      Prototype

Prototype bisa disebut sebagai contoh dari sebuah produk yang akan dikembangkan nanti. Bagaimana tampilan dan alur pengoperasian dari sebuah aplikasi, semua itu adalah inti dari prototype.

●      Minimum Viable Product (MVP)

Bisa dibilang MVP (Minimum Viable Product) adalah bentuk lebih sempurna dari prototype. MVP sudah bisa disebut sebagai produk. Hanya saja, fitur-fiturnya masih fokus pada fitur paling utama.

Perbedaan Proof Of Concept, MVP dan Prototype

Sepintas, proof of concept, MVP dan prototype mungkin terlihat mirip. Akan tetapi, ada perbedaan fundamental antara ketiganya. POC biasanya hadir dalam bentuk konsep. Apakah ide tersebut dapat dieksekusi? Apakah teknologi untuk mewujudkannya sudah ada? Inilah inti dan tujuan dibuatnya POC.

Di sisi lain, prototype biasanya sudah berbentuk aplikasi. Hanya saja, tampilannya masih sederhana dan lebih fokus pada alur pengoperasiannya. Tujuan pembuatannya pun masih sangat sederhana, yakni untuk mendemonstrasikan bentuk produk yang akan dikembangkan.

Jika POC dan prototype dibuat untuk kalangan internal, MVP sudah bisa dirilis ke pengguna secara terbatas. MVP memiliki bentuk layaknya aplikasi atau produk yang sudah jadi. Hanya saja, fitur yang disediakan terbatas pada fitur-fitur yang paling utama. Biasanya, MVP ini dibuat untuk mendapatkan feedback dari pengguna.

Proof Of Concept, MVP atau Prototype: Mana yang Sebaiknya Dipilih?

Proof of concept, MVP dan prototype memiliki goal yang berbeda-beda. Jadi saat harus memilih, pertimbangkan goal yang ingin Anda capai. Selain itu, pertimbangkan juga kondisi saat ini sebelum menentukan pilihan.

Jika Anda memiliki ide yang benar-benar baru atau inovatif, pilihlah proof of concept untuk memastikan apakah ide tersebut dapat dieksekusi. Jangan langsung mengembangkan produk sebelum membuat POC. Jadi jika ide tersebut belum bisa dieksekusi, misal karena teknologinya belum ada, Anda tidak perlu membuang waktu, tenaga dan sumber daya lebih jauh lagi.

Di sisi lain, prototype bisa dipilih jika Anda sudah yakin bahwa ide yang Anda miliki benar-benar bisa dieksekusi. Anda juga bisa mulai membuat prototipe untuk mengaktualisasikan ide menjadi bentuk yang lebih nyata (aplikasi), lengkap dengan user flow dan user experience-nya.

Jika Anda sudah memiliki prototipe produk, Anda bisa mulai mengembangkannya ke bentuk yang lebih sempurna, yakni MVP. Bentuk MVP yang cukup mencerminkan produk akhir membuatnya cocok untuk dirilis secara terbatas kepada pengguna. Tentu saja, goal utama dari MVP adalah untuk mendapatkan feedback dari pengguna yang sesungguhnya. Dari feedback inilah, Anda bisa menyempurnakan produk Anda.

Proof of concept, MVP dan prototype memiliki perannya masing-masing. Meski demikian, bukan berarti setiap pengembangan produk mengharuskan Anda untuk membuat ketiganya. Bisa saja Anda langsung melompat ke prototype dan MVP tanpa harus melalui proof of concept. Semuanya kembali pada produk yang ingin Anda kembangkan dan kebutuhan.

Buat Anda founder startup yang memiliki potensi dan ingin mengembangkan skala bisnis startup, namun menghadapi berbagai tantangan dan kendala, Anda bisa mendapatkan kesempatan untuk brainstorming secara langsung dari para pelaku startup terkemuka di Indonesia melalui Startup Studio Indonesia (SSI).

SSI merupakan program dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia yang diselenggarakan untuk memfasilitasi startup digital yang sudah mencapai tahap product market fit dan memiliki founder yang potensial untuk menjawab masalah sulitnya mendapatkan sumber daya yang berkualitas dan pengembangan bisnis. Program ini diusung untuk menciptakan ekosistem digital Indonesia yang kaya akan sumber daya potensial yang bisa diakses para founder dalam berinovasi untuk mendorong transformasi digital Indonesia. Apakah Anda siap untuk #GoTheExtraMiles? Cek informasi lengkapnya di website SSI sekarang!

Share

Related Article

brd

Apa Saja Konten dari Business Requirement Document?

Keberhasilan suatu proyek sangat bergantung pada perencanaan dan pemahaman tentang apa yang ingin dicapai. Untuk alasan inilah, business requirement document atau BRD dibutuhkan.  Business Requirement

value stream mapping

Fungsi Value Stream Mapping dalam Manajemen Produksi

Efisiensi produksi tidak mungkin bisa dicapai tanpa mengetahui di mana titik permasalahan dan pemborosan itu terjadi. Untuk mengidentifikasinya, Anda membutuhkan alat yang tepat. Inilah saat

Program intensif yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia untuk memberdayakan early-stage startup, berfokus pada akselerasi produk dan tim, validasi strategi growth marketing, assisting technology development, dan business skill.

© Startup Studio Indonesia 2021

Sebuah program dari: